Tidak dapat dipungkiri bahwa bentuk tubuh ’ideal’ dewasa ini tampaknya adalah adopsi dari kultur barat yang mengagungkan kelangsingan tubuh bagi wanita dan bentuk tubuh yang berotot bagi pria. Keidealan tersebut berbeda-beda pada tiap masa, misalnya pada masa Marilyn Monroe dunia begitu mengagumi bentuk tubuh yang padat berisi seperti Marilyn. Pada masa ini yang diidealkan adalah bentuk tubuh yang semakin langsing bagi wanita dan semakin berotot bagi pria. Buktinya tak hanya terlihat dari selebriti lokal maupun dunia yang kebanyakan menunjukkan tipikal bentuk tubuh demikian, bahkan sampai boneka pun Barbie dibuat dengan bentuk tubuh yang langsing dan boneka GI Joe dibuat berotot.
Kultur keidealan tersebut dengan perubahannya seiring waktu tersebar hampir ke seluruh dunia berkat adanya media. Dalam masyarakat sosiokultural saat ini media memegang peran yang semakin besar. Televisi merupakan salah satu jenis media yang paling sering diakses dan mungkin yang paling banyak dimiliki oleh masyarakat. Berbagai tayangan dari dunia barat mudah dilihat di TV termasuk tayangan-tayangan yang menunjukkan wanita dan pria dengan bentuk tubuh yang ideal.
Data yang saya kutip dari Nielsen Media Research menyebutkan bahwa rata-rata anak remaja menonton TV selama 3 jam per hari. Sumber lain menyebutkan rata-rata sampai dengan 5 jam per hari dan 6-7 jam per hari bila digabungkan dengan akses ke media lainnya.
Paparan tayangan dari TV tersebut akan mempengaruhi persepsi pemirsa. Salah satunya adalah persepsi mengenai berat badan yang merupakan satu dari faktor-faktor yang memotivasi timbulnya perilaku mengendalikan berat badan. Usia muda (anak dan remaja) tampaknya merupakan suatu faktor kerentanan bagi individu dalam hal pengaruh media, citra diri, dan perilaku makan dimana anak dan remaja belum sepenuhnya dapat memahami tayangan yang mereka lihat di TV. Kelompok usia anak dan remaja belum memiliki persepsi citra diri yang stabil dan gampang terpengaruh oleh isi tayangan karena karakteristik usia yang masih labil. Mereka belum dapat membedakan antara apa yang terlihat di TV dan kenyataan hidup sehari-hari. Selain itu mereka kurang didampingi oleh orang tua atau orang dewasa lainnya saat menonton sehingga mereka tidak dapat membicarakan atau mendiskusikan apa yang mereka lihat.
Selain faktor usia terdapat beberapa faktor kerentanan lain yang dapat mempengaruhi individu dalam melihat tayangan TV. Faktor-faktor tersebut antara lain adanya gejala gangguan makan yang mendasari, nilai diri yang rendah, ketidakpuasan terhadap tubuh sendiri, dan orang tua yang kurang perhatian atau orang tua tunggal atau bercerai.
Pengaruh tayangan TV sampai mengubah perilaku makan dimulai dengan terjadinya proses persepsi yang berubah, terganggu, atau terdistorsi pada anak remaja yang rentan. Berikutnya timbul ketidakpuasan terhadap diri dan tubuh sendiri yaitu anak remaja merasa lebih berat dari berat badan yang sesungguhnya. Dia mulai sering memikirkan mengenai berat badan dan bentuk tubuh, membandingkan diri dan tubuh sendiri dengan apa yang dilihat dari tayangan TV, membandingkan dengan teman sebaya dan lingkungan sekitar, dan bukannya membandingkan dengan berat badan atau Body Mass Index yang sesungguhnya. Setelah itu mulai terjadi perubahan perilaku makan seperti membatasi intake yang masuk, makan berlebihan kemudian memuntahkannya, menggunakan obat-obatan seperti laksatif, diuretik, dan steroid (untuk pria agar berotot), dan melakukan olahraga berlebihan. Perilaku makan yang berubah tersebut adalah sebagai upaya untuk menyamakan diri dengan figur atau karakter yang dilihat dari tayangan TV.
Pengaruh tersebut lebih dipengaruhi oleh isi tayangan TV yang dilihat baik berupa film atau iklan, dibandingkan lamanya waktu yang dihabiskan untuk menontonTV. Film atau iklan yang menayangkan figur langsing kurus lebih menimbulkan citra diri yang negatif pada pemirsa dibandingkan tayangan berisi figur dengan ukuran tubuh rata-rata. Saat melihat tayangan berisi figur wanita yang langsing kurus dan figur pria berotot, individu terlibat secara emosional dan membayangkan diri mereka sebagaikarakter yang mereka lihat, kemudian timbul perubahan citra diri dan timbul upaya-upaya menyamakan diri dengan figur ideal.
Penting untuk kita cermati bentuk-bentuk tayangan TV seperti apa saja yang dapat mempengaruhi persepsi citra tubuh dalam terjadinya perubahan perilaku makan.Pertama, tayangan yang menunjukkan figur-figur ideal menurut standar masyarakat saat ini. Bentuk dan ukuran tubuh tersebut sering kali tidak nyata atau tidak mungkin tercapai dengan usaha-usaha yang sehat atau wajar. Kedua, tayangan yang menggunakan teknik-teknik tertentu untuk menyembunyikan keaslian bentuk dan ukuran tubuh sehingga membuat figur yang ditayangkan terlihat lebih bagus. Ketiga, kemampuan media dan tayangan TV untuk mengecoh atau membujuk pemirsa untuk menjadi seperti figur ideal atau karakter yang ditayangkan dengan seolah-olah menyamakan keidealan bentuk dan ukuran tubuh dengan kehidupan yang sukses, glamor, dan menyenangkan. Keempat, adanya keterlibatan emosional antara pemirsa dengan figur ideal atau karakter yang mereka lihat di TV sehingga kadang sulit bagi pemirsa untuk membedakan antara tayangan yang dilihat dan kehidupan sehari-hari.
Terdapat beberapa alternatif dalam merespon pengaruh negatif tayangan TV tersebut. Pertama, bagi anak remaja dengan faktor-faktor kerentanan lebih baik menghindari tayangan TV yang menayangkan figur atau karakter dengan tubuh sesuai citra ideal tetapi tidak nyata.
Orang tua sebaiknya mengarahkan untuk menonton tayangan yang lebih sesuai dengan usia mereka atau menonton tayangan tentang kesehatan sehingga didapatkan pengetahuan yang benar tentang konsep tubuh yang sehat. Kedua, anak remaja memerlukan pendampingan orang tua atau orang dewasa lainnya saat menonton sehingga isi tayangan dapat saling dibicarakan dan anak remaja dapat memahami isinya serta tidak mengalami mispersepsi. Orang tua juga dapat mengarahkan anak ke aktivitas lain yang lebih sehat dan menyenangkan seperti rekreasi keluarga, berolahraga, atau mengembangkan bakat anak sehingga anak tidak terlalu fokus dengan bentuk atau ukuran tubuh semata. Ketiga, perlunya pembelajaran tentang literasi media di rumah, sekolah, atau dalam kegiatan ekstra kurikuler supaya anak dan remaja dapat lebih kritis dalam mempersepsi tayangan televisi atau media lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar