“Sudah 1 bulan tidak makan obat diabetes dari rumah sakit, dok. Saya ada luka di kaki kanan yang jadi bengkak dan infeksi lalu busuk. Lalu oleh saudara saya dibawa ke ‘orang pintar’ yang menyembuhkan pakai terapi lintah. Lintahnya ditempelkan di luka-luka saya dan lama-lama jadi kempes, kering dan bau busuknya menghilang. Saya datang ke sana seminggu sekali dan ditempelkannya sekitar 2-3 jam.”Katanya.
Wah, terapi lintah. Secara ilmu medis ini bisa diterangkan, karena lintah memiliki sejenis zat anti pembekuan darah yang dapat membuat pembuluh darah pasien diabetes yang tersumbat oleh penyempitan akibat timbunan kolesterol dan sel-sel radang.
Ketika pasien ini diterapi lintah, pembuluh darahnya di sekitar kaki menjadi lancar dan luka-lukanya membaik, tetapi sayangnya si penerapi alternatif ini melarang si pasien mengobati juga gulanya dengan dokter dan tidak memeriksa bahwa si pasien ada wasir yang sering berdarah. Setelah 3 kali pertemuan, mungkin saja dosis pengencer darah dari lintah berlebihan dan wasirnya pun menjadi berdarah-darah.
“Perlu tambah darah 3 kantong,pak. Hemoglobin bapak sudah 7. Waktu perdarahan bapak memanjang 3,5 kali lipat dan gula darah bapak 300-an.”Kataku membuatnya menyesal dan sedih.
“Harusnya tidak sembarang ikut terapi alternatif ya dok. Ingin hemat, malah jadi repot begini.”Katanya.
“Untung yang berdarah hanya saluran cerna,pak. Kalau perdarahannya di notak, bagaimana? Repot sekali,kan?”Kataku.
Akhirnya setelah diberikan obat pengurang perdarahan yang khusus saluran cerna, diturunkan kadar gulanya dan antibiotik yang sesuai dengan pengalaman empiris, kondisi membaik serta lukanya sembuh.
“Kalau saya tidak punya wasir, mungkin terapi lintahnya bagus ya dok?”Kata si pasien.
“Iya, mungkin. Tetapi bapak dilarang si pengobat lintah itu makan obat diabetes dari dokter.Itu sudah salah. Seharusnya terapi alternatif dilakukan berkoordinasi dengan dokter. Kalau langsung dilarang semua obat dokter bisa gawat.”Kataku.
Nah, pernah beberapa kali harus menghadapi pasien yang ikut diterapi oleh pengobat alternatif. Kebanyakan pasien-pasien yang kronis dan sudah hampir putus asa dengan penyakitnya.
Ada yang pakai ramuan obat, ada yang pakai listrik digosok-gosokkan, ada yang pakai alat yang berenergi batu-batuan khusus, ada yang akupuntur, pijat dan terakhir pakai lintah.
Pasien-pasien diabetes dan hepatitis kronis ada beberapa yang bagus memakai obat-obatan alternatif dan saya persilahkan melanjutkan dengan kontrol kadar gula, jantung, hati dan ginjalnya 1 bulan sekali di rumah sakit. Mungkin sudah jodohnya bertemu pengobat alternatif yang ‘bertangan dingin’ dan menguasai keilmuannya dengan baik.
“Sinsenya cuma pegang nadi saja dok, langsung tahu. Tapi pegangnya bisa 5 menitan.”Kata si pasien.
Wah, hebat juga ya. Hanya periksa denyut nadi semua beres, apa benar? Inilah misterinya, mungkin saja sih ada tehnik pemeriksaan begitu. Dan kalau memang bisa dijelaskan secara ilmiah, mengapa tidak mungkin?
Memang tidak semua orang beruntung bisa sekolah di kedokteran, padahal dia sebenarnya memiliki pengalaman dan tahu ada cara-cara mengobati penyakit dengan berbagai modalitas yang pernah dia lihat dan alami.
Orang-orang non dokter inilah yang disebut pengobat alternatif, dimana ilmunya mereka kembangkan dari berguru ke pengobat sebelumnya atau menemukan sendiri cara mengobati dari pengalaman pribadi.
Atau ada kalanya dokter-dokter sendiri pun menggunakan cara-cara alternatif untuk menyembuhkan pasien. Mereka ini yang kurang suka obat-obat farmasi yang kelewatan mahal, padahal ada bahan-bahan dari sekitar kita yang relatif murah dapat dijadikan bahan pengobatan.
Sebenarnya pengobatan alternatif ada tempatnya bagi masyarakat, asal dapat dipertanggungjawabkan. Di China ada dikembangkan ilmu Tradisional Chinese Medicine yang dipelajari mirip dengan pendidikan kedokteran. Semua seni pengobatan China selama ribuan tahun yang tidak disentuh oleh dunia medis distandarisasi menjadi sebuah ilmu yang terukur, dapat diturunkan dengan pembelajaran dan teruji. Jadi jangan heran ada rumah sakit di China yang ada bagian pengobatan alternatifnya dan sering berkolaborasi dengan medis biasa.
Kesulitannya di Indonesia pengobat-pengobat alternatif belum masuk ke wilayah pendidikan yang resmi. Ilmunya hanya berdasarkan pengalaman sendiri atau diturunkan yang sulit diuji oleh orang lain. Dan hal-hal seperti ini akan sangat rawan penipuan dan kesalahan prosedur seperti pasien ini yang jadi ada efek samping wasir sampai berdarah hebat.
Bagi teman-teman yang mencintai pengobatan alternatif, saya mengajak saudara-saudara mulai mencoba merintis pendidikan Tradisional Indonesian Medicine dengan baik, sehingga segala bentuk pengobatan yang selama ini dilakukan lebih termutakhir lagi dan terukur.
Jika demikian akan lebih mudah kami yang medis merujuk pasien yang mengiinginkan terapi alternatif selain dari prosedur medis. Kami akan tahu bahwa yang ahli untuk urusan tanaman obat si ‘A’, yang ahli akupuntur si ‘B’, yang ahli ilmu lintah si ‘C’, yang ahli ilmu pemanasan dan listrik si ‘D’, yang ahli patah tulang si ‘E’, dan seterusnya.
Bila terapi alternatif di Indonesia masih tak terkoordinir dengan baik dan tidak terangkum dalam sebuah jenjang pendidikan yang layak, maka pengobatan alternatif dan medis tidak dapat saling melengkapi dan terkesan saling menjatuhkan.
Jika ada keburukan di bidang medis mungkin akan diangkat oleh media massa atau orang-orang yang tak suka bidang ini dengan hebohnya, supaya masyarakat membenci dunia medis dan obat-obatan farmasinya yang mahal. Tetapi masyarakat juga masih ragu beralih ke pengobatan alternatif, karena belum ada patokan yang mana yang bisa dipercaya dan yang mana yang menipu.
Bila pengobat alternatif berhasil menyusun pendidikannya di Indonesia dengan baik dan diakui masyarakat, percayalah akan menjadi sebuah profesi yang luar biasa peminatnya karena Indonesia sangat kaya akan tanaman obat berkhasiat. Mungkin ini menjadi salah satu alternatif melepaskan negara ini dari penjajahan farmasi besar.
Sebagai pribadi, saya masih menghormati orang-orang yang mempunyai kemampuan mengobati diluar medis, asal tulus mau menolong dan bukan menipu. Tetapi secara institusi dunia medis memerlukan pengobatan alternatif yang terdidik resmi dan diakui secara hukum untuk menjadi rujukan terapi non farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Semoga ke depannya, dunia pengobatan alternatif di Indonesia lebih terarah, terkoordinir, terstandar dan lebih terpercaya lagi dan masyarakat akan lebih terlindungi dan memiliki pilihan pengobatan yang beragam.
sumber kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar